Materi PPG PAI KB 1 Bagian 3 (AL-QUR'AN DAN METODE MEMAHAMINYA)


 AL-QUR'AN DAN METODE MEMAHAMINYA (Bagian 3)

Takwil dan Terjemah

1. Ta'wil

Ta’wil yang kemudian diserap ke dalam Bahasa Indonesia menjadi takwil menurut bahasa berasal dari kata awwala-yuauwilu-ta’wil yang memiliki makna al-ruju’ atau al-’aud yang berarti kembali. Berkaitan dengan kata ini Alquran beberapa kali menggunakan kata ta’wil dalam menjelaskan maksud dari sebuah peristiwa atau kisah. Misalnya, pada kisah Nabi Yusuf as ayat 100 saat menjelaskan peristiwa tunduknya keluarga dan saudara-saudaranya kepada Yusuf dinyatakan dengan kalimat hadza ta’wilu ru’yaya min qabl qad ja’ala rabbi haqqan (Ini adalah takwil mimpiku sebelumnya, sungguh Tuhan telah menjadikan mimpiku menjadi kenyataan). Demikian juga pada surat al-Kahfi ayat 78 tentang kisah seorang hamba Allah yang diberi ilmu dari sisi-Nya mengatakan kepada Nabi Musa as dengan kalimat sa’unabbi’uka bita’wili malam tastathi‘ alaihi sabran (Aku akan menjelaskan takwil sesuatu yang engkau tidak dapat bersikap sabar terhadapnya).

Memperhatikan penggunaan kata takwil di dalam Alquran, maka secara terminologi al-Jurjani dalam kitab al Ta’rifatnya memberikan definisi takwil sebagai berikut:


Mengalihkan lafaz dari maknanya yang tampak kepada makna tersembunyi yang
dikandung olehnya selama makna yang dimaksud tersebut dipandang sesuai dengan Alquran dan al-sunnah (Al-Jurjani, 2004: 46)

 

Takwil berbeda dengan tafsir sekalipun keduanya menjelaskan maksud dari sebuah pernyataan dalam Alquran. Tafsir pada praktiknya menjelaskan makna zahir sementara takwil mengungkap makna batin. Perbedaan tersebut dapat dilihat dalam memahami kalimat ( يخرج الحي من الميتmengeluarkan kehidupan dari yang mati).
Penggalan ayat 19 dari surat al-Rum bisa dipahami dalam makna mengeluarkan seekor
ayam yang menetas dari telur. Makna tersebut adalah tafsir. Tetapi, jika dipahami dengan takwil, maka bisa bermakna mengeluarkan seorang Mukmin dari kekafiran atau mengeluarkan yang pandai dari kebodohan (Al-Jurjani, 2004: 46).

 

Dari contoh di atas terlihat jelas bahwa pada hakikatnya takwil dilakukan dalam rangka memahami ayat yang berarti juga melakukan kegiatan tafsir. Maka, takwil pada fungsinya sebagai tafsir yang dapat memudahkan dalam mencerna dan mengamalkan ajaran Alquran sesuai dengan perkembangan zaman sekarang dan akan datang, juga tafsir pada praktiknya sebagai penjelas, keduanya adalah metode penting yang perlu dilakukan dalam memahami makna Alquran.

 

Namun, apakah seluruh ayat-ayat mutasyabihat boleh atau harus ditakwil, Quraish Shihab menunjukkan bahwa QS. Ali Imran (3) ayat 7 yang telah disampaikan

sebelumnya menimbulkan perbedaan pemahaman tentang boleh tidaknya takwil atas ayat-ayat mutasyabihat (Shihab, 1995: 91). Sebagian pendapat menyatakan bahwa semua ayat mutasyabihat bisa ditakwil seluruhnya, tetapi sebagian lagi berpendapat bahwa sebagian saja yang boleh ditakwil, itupun bila memenuhi persyaratan takwil termasuk siapa saja yang berhak melakukannya. Oleh karena takwil merupakan pekerjaan yang sulit, maka diperlukan syarat keahlian tertentu, antara lain pengetahuan mendalam tentang ilmu-ilmu keislaman termasuk kaidah bahasa Arab karena takwil tidak berdasar ra’yu (pendapat/akal) saja.

Selanjutnya, terkait perbedaan cakupan antara tafsir dan takwil, Al-Raghib alAshfahani dalam kitab Mufradat Alfadzi al-Qur’an mengemukakan bahwa tafsir lebih umum dari pada takwil (Al-Ashfahani, 2009: 636). Tafsir lebih banyak digunakan dalam kata dan kosa katanya. Sedang takwil banyak digunakan dalam makna dan susunan kalimatnya. Takwil lebih banyak digunakan dalam Alquran, sedang tafsir tidak saja digunakan dalam Alquran tetapi juga dalam kitab-kitab lainnya (Shihab, 1995: 91).

Penakwilan terhadap ayat Alquran dilakukan secara ketat berdasarkan kaidah dan dasar-dasar keilmuan. Jika kita menyetujui bahwa semua ayat-ayat mutasyabihat

boleh ditakwil, maka ayat-ayat yang ditakwil tidak hanya teks-teks ayat yang pernah ditakwilkan oleh ahli tafsir terdahulu, melainkan dapat berkembang selama makna yang digagas tidak keluar dari akar kata redaksi bahasa ayat itu.

Sebagai contoh, Muhammad ‘Abduh dalam tafsir Juz Amma-nya memahami kata Thayran ( )طيراpada surat al-Fiil (QS 105:3) yang berarti burung yang terambil dari kata thara–yathiru (terbang) dengan sejenis virus atau bakteri yang beterbangan. Hal ini sah karena tidak keluar dari makna dasar kata tersebut.

Contoh penerapan takwil terhadap ayat mutasyabihat lainnya yang dilakukan M. Quraish Shihab dalam menafsirkan kata kursi pada Q.S. Al-Baqarah ayat 255. Ia menakwilkan kalimat kursi Allah meliputi langit dan bumi sebagaimana AlThabathaba’i dalam Tafsir Al-Mizan menakwilkannya dengan kedudukan Ilahiyah untuk mengendalikan semua makhluk-Nya. Luasnya kursi Allah memiliki makna

ketakterhinggaan kekuasaan-Nya. Karena itu makna kursi pada ayat tersebut adalah kedudukan ketuhanan yang mengendalikan langit dan bumi beserta isinya. Juga mengisyaratkan bahwa semua benda itu terkontrol dengan baik. Demikian juga makna keluasan yang dimaksud bahwa pengetahuan Allah meliputi segala sesuatu di langit dan bumi.

Namun berbeda dengan ayat yang berbicara tentang zat Allah yang tercantum pada surat al-Nur ( الله نورالسماوات والارضAllah adalah cahaya langit dan bumi). Dimaknai demikian dengan tujuan agar zat Allah itu bisa diketahui. Pemahaman seperti ini merupakan takwil yang terlarang, karena tidak sesuai dengan ayat: ( ...ليس كمثله شي tidak ada sesuatu apapun yang menyerupai-Nya). (QS. Asy-Syura [42]: 11)

 Takwil yang hanya berdasarkan akal saja tanpa mempertimbangkan aspek kebahasaan hukumnya terlarang, karena memungkinkan maksud yang digagas keluar dari makna dasarnya. Dari itu, ulama salaf lebih memilih bersikap tafwidh yakni menyerahkan sepenuhnya maknanya kepada Allah saat memaknai ayat-ayat mutasyabihat dengan ungkapan wallahu a’lam bi muradi bih (Allah lebih tahu maksudnya).

2. Terjemah

Terjemah bukan termasuk metode memahami Alquran seperti halnya tafsir dan takwil, ia hanya bentuk pengalihbahasaan. Secara etimologi, terjemah diambil dari bahasa Arab dari kata tarjamah. Bahasa Arab sendiri menyerap kata tersebut dari bahasa Armenia yaitu turjuman (Didawi, 1992: 37). Kata turjuman sebentuk dengan kata tarjaman dan tarjuman yang berarti mengalihkan tuturan dari satu bahasa ke bahasa lain (Manzhur: 66). Terjemah menurut bahasa juga berarti salinan dari satu bahasa ke bahasa lain, atau mengganti, menyalin, memindahkan kalimat dari suatu bahasa ke bahasa lain. Selain itu, berarti pula memindahkan lafal dari suatu bahasa ke dalam bahasa lain.

Adapun secara terminologi, terjemah didefinisikan sebagai berikut:

 

Mengungkapkan makna tuturan suatu bahasa di dalam bahasa lain dengan memenuhi seluruh makna dan maksud tuturan tersebut.

Al-Shabuni mendefinisikan terjemah Alquran adalah memindahkan bahasa Alquran ke bahasa lain yang bukan bahasa Arab kemudian mencetak terjemah ini ke beberapa naskah agar dapat dibaca orang yang tidak mengerti bahasa Arab, sehingga dapat memahami pesan dasar dari kitab Allah SWT.

Al-Shabuni mendefinisikan terjemah Alquran adalah memindahkan bahasa Alquran ke bahasa lain yang bukan bahasa Arab kemudian mencetak terjemah ini ke beberapa naskah agar dapat dibaca orang yang tidak mengerti bahasa Arab, sehingga dapat memahami pesan dasar dari kitab Allah SWT.

Membaca terjemah sebuah ayat Alquran dapat membantu pembaca untuk memahami ayat tersebut. Namun demikian, membaca terjemah saja tanpa memahami seluk beluk bahasa Alquran seringkali menjadikan pemahaman terhadap ayat tersebut
kurang sempurna, atau bahkan dikhawatirkan terjadi kesalahpahaman.
Kesalahpahaman terhadap pembacaan Alquran terjemah secara umum dapat disebabkan beberapa hal, di antaranya:

  1. Tidak semua kata dalam suatu bahasa dapat diterjemahkan secara tepat atau utuh ke dalam bahasa lain, termasuk Alquran. Ini dikarenakan setiap bahasa memiliki batas-batas makna masing-masing. Contoh kata; anta dan anti (mudzakkar dan muannats) dengan terjemah kamu, anda atau engkau tidak dapat mewakili secara utuh makna dari teks. Demikian juga misalnya kata insanun dan basyarun tidak dapat secara utuh diwakili oleh terjemah kata manusia.
  2. Keterbatasan seorang penerjemah dalam melakukan pilihan kata yang tepat dan dalam penguasaan struktur bahasa yang digunakan.
  3. Latarbelakang budaya yang berbeda pada setiap bangsa akan membentuk karakteristik bahasa yang berbeda.

Karena itu, apabila melihat berbagai kelemahan tersebut di atas, maka dalam penerjemahan Alquran belum dapat dikatakan mampu mewakili seluruh maksud ayatayatnya. Apalagi bahwa Alquran itu adalah kalamullah yang memiliki keagungan dalam bahasa dan kandungannya, maka dapat dipastikan sebuah terjemahan Alquran tidak mampu menggambarkan secara utuh maksud-maksudnya. Namun demikian, bukan berarti terjemah Alquran tidak penting, karena dengan adanya terjemah Alquran dapat membantu untuk melakukan tadabbur (renungan) atau paling tidak mengetahui pesan dasar Alquran khususnya bagi bangsa ‘ajam (non-Arab) yang tidak memiliki kemampuan bahasa Arab secara baik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar